Di sebuah rumah sederhana di pedesaan Taiwan, lima pekerja migran ilegal berlindung sambil menunggu proses pemulangan mereka. Di antara mereka, dua wanita bersama anak-anak yang masih berusia tiga tahun, merasakan kerasnya hidup sebagai pekerja migran. Awalnya, mereka masuk Taiwan secara legal, namun kondisi kerja yang buruk, pemotongan upah, penolakan hak cuti, serta perlakuan yang tak manusiawi dari majikan membuat mereka kabur. Kasus ini menunjukkan sisi lain dari kehidupan pekerja migran di Taiwan yang penuh tantangan dan ketidakpastian.
Para akademisi menyarankan untuk memberikan kesempatan bagi pekerja migran yang kabur namun beralasan kuat untuk bisa kembali bekerja secara legal. “Relegalisasi tenaga kerja dalam negeri” diusulkan agar mereka yang tidak memiliki catatan kriminal dapat direkrut kembali dan hidup dengan layak di Taiwan.
Kisah Perjuangan di Balik Nama Samaran: Arling, Alin, dan Kawan-Kawan
Salah satu kisah yang menyentuh datang dari seorang wanita bernama Arling (nama samaran). Setelah datang ke Taiwan dan menikah dengan warga Taiwan, Arling kini hidup dengan cukup berkecukupan dan membantu pekerja migran yang kabur untuk menyerahkan diri dan pulang ke kampung halaman. Melalui proses yang penuh liku, Arling berharap para pekerja migran tersebut bisa mendapat perlakuan yang adil dan kesempatan yang lebih baik di masa mendatang.
Alin, 35 tahun, datang ke Taiwan pada tahun 2016 untuk merawat seorang nenek di Pingtung yang memperlakukannya dengan baik. Namun, setelah nenek tersebut meninggal, Alin ditempatkan oleh agen di rumah majikan baru yang memperlakukan dia dengan buruk, hingga ia memutuskan kabur. Delapan tahun ia bekerja di Taiwan, dan kini, bersama putrinya, ia berencana kembali ke kampung halaman.
Dilema Pekerja Migran: Dipotong Gaji dan Tak Diberi Hak Cuti
Kisah serupa datang dari Awie, pekerja pabrik yang mengalami pemotongan upah sehingga memaksanya untuk melarikan diri dan mencari pekerjaan lain di perkebunan di Nantou. Ia berencana untuk pulang karena ingin merawat ibunya yang sudah tua dan sakit. Sementara itu, Adi, seorang pekerja migran yang telah bekerja di berbagai tempat, juga memilih menyerahkan diri dan kembali ke tanah air untuk menikahi kekasihnya setelah bertahun-tahun berjuang di Taiwan.
Keterbatasan Bantuan dari Konsulat Asing
Dalam pengalaman pahitnya, Arling menyoroti minimnya dukungan dari kantor konsulat yang seharusnya melindungi mereka. Ia mengenang saat seorang pekerja migran bernama Agus terkena tuberkulosis parah, tetapi kantor perwakilan Indonesia malah meminta bantuan keuangan darinya. Melihat ini, warga Taiwan yang baik hati bersedia membantu biaya medis dan pemulangan Agus.
Arling berharap, ke depannya, sistem dapat lebih memanusiakan pekerja migran yang telah berkontribusi besar pada perekonomian Taiwan dan memberikan bantuan yang layak untuk mereka.