Suarabmi.co.id – Hasannudin Burhan (42), warga asal Desa Babakan Gebang, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, pernah menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal di Malaysia.
Menggantungkan harapan besar untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik, Hasannudin justru harus menghadapi ancaman, intimidasi, dan perlakuan yang tidak manusiawi selama bekerja di negeri jiran.
Mimpi Buruk Menjadi Pekerja Migran Ilegal di Malaysia
Perjalanan Hasannudin menuju Malaysia dimulai pada tahun 2003, ketika ia mendapatkan tawaran dari seorang calo.
Tanpa menyadari bahaya yang mengintai, Hasannudin tertarik untuk bekerja sebagai Anak Buah Kapal (ABK) dengan membayar biaya sebesar Rp 7 juta. Menurut penuturan Hasannudin, calo tersebut ternyata adalah tetangga desa yang mengajaknya untuk mendaftar di sebuah perusahaan.
Baca Juga: Identitas Korban Penembakan di Malaysia Terungkap! Ada 2 Orang Aceh, Salah Satunya Luka Parah
“Awalnya saya diajak oleh seorang calo yang juga tetangga desa. Setelah saya setuju, saya dibawa ke Jakarta untuk mendaftar ke PT yang akan mengurus keberangkatan saya,” cerita Hasannudin saat diwawancarai oleh media pada Jumat 31 Januari 2025.
Setelah proses pendaftaran, Hasannudin pun diterbangkan dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Pontianak. Namun, sesampainya di sana, ia terkejut karena tidak langsung diberangkatkan ke Malaysia. Sebaliknya, ia ditampung sementara di sebuah tempat penampungan sebelum proses pembuatan paspor di Imigrasi Pontianak.
“Saya baru sadar kalau ini semua adalah bagian dari perjalanan saya menuju Malaysia secara ilegal. Setelah paspor saya selesai dibuat, saya dibawa ke Entikong, perbatasan Indonesia-Malaysia,” ungkapnya, dikutip suarabmi.co.id dari Tribunnews.
Terperangkap dalam Janji Palsu dan Kekerasan
Saat melewati perbatasan, Hasannudin diberi instruksi untuk mengaku sebagai wisatawan jika ada pemeriksaan oleh pihak imigrasi Malaysia. Namun, sesampainya di Kuching, Malaysia, kenyataan pahit menunggu.
anji gaji Rp 1,5 juta per bulan yang diterima sebelumnya tidak sesuai dengan kenyataan. Begitu tiba di Malaysia, ia dipaksa menandatangani kontrak baru dengan gaji yang jauh lebih rendah, hanya Rp 250 ribu per bulan.
“Saat itu, saya menolak menandatangani kontrak baru dengan gaji yang sangat rendah. Tapi saya dipaksa dengan ancaman senjata. Saya terpaksa menandatanganinya demi keselamatan saya,” jelas Hasannudin.
Setelah itu, Hasannudin dibawa ke kapal yang berada di tengah laut, tempat ia bertemu dengan seorang ABK asal Malang yang menyarankan untuk segera pulang.
Pelarian yang Menghadapi Banyak Rintangan
Kesempatan untuk melarikan diri akhirnya datang saat kapal tempatnya bekerja mengalami kerusakan dan harus bersandar di sebuah pulau. Di pulau tersebut, Hasannudin bersama empat rekannya yang berasal dari Sangir memutuskan untuk melarikan diri menggunakan kapal lokal milik warga Malaysia.
Namun, pelarian Hasannudin tidaklah mudah. Paspor dan dokumen pentingnya masih dipegang oleh tekong yang menyalurkan mereka. “Saya harus mencuri kembali dokumen saya dari brankas milik tekong. Kalau tidak, saya tidak mungkin bisa kembali ke Indonesia,” kata Hasannudin.
Dengan keberanian, ia mengambil paspornya bersama sejumlah uang ringgit yang ada di brankas. Setelah itu, Hasannudin dan teman-temannya menggunakan uang tersebut untuk naik taksi menuju perbatasan dan akhirnya kembali ke Indonesia.
Kini, Hasannudin yang selamat dari pengalaman pahit tersebut telah menjadi seorang aktivis buruh yang memperjuangkan hak-hak pekerja migran.***