Suarabmi.co.id – Modus perekrutan Pekerja Migran Indonesia (PMI) ilegal melalui media sosial semakin berkembang pesat. Banyak anak muda yang tergoda dengan janji gaji besar untuk bekerja di luar negeri, namun kenyataannya mereka justru dipaksa bekerja sebagai admin judi online.
Wakil Menteri Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Christina Aryani, mengungkapkan bahwa kejahatan semacam ini semakin marak, terutama dengan memanfaatkan teknologi digital.
“Banyak anak muda tergiur oleh iklan di media sosial tentang peluang kerja di Thailand atau negara lain dengan gaji besar, ternyata mereka dijadikan admin judi online,” ujar Christina saat memberi paparan di acara Sosialisasi Penempatan dan Perlindungan PMI di Stikes Panti Rapih, Yogyakarta, pada Senin 9 Desember 2024.
Baca juga: Pilih Lembur karena Upah Cenderung Rendah, Pekerja Taiwan Terdeteksi Alami Kelelahan Extrem
Dikutip suarabmi.com dari Suara, bahwa 21 WNI yang baru saja dipulangkan setelah menjadi korban perdagangan manusia di Myanmar adalah contoh nyata dari kejahatan ini.
Mereka awalnya dijanjikan pekerjaan di Thailand, tetapi malah dijadikan operator judi online dan penipu daring di Myawaddy.
Lebih lanjut, Christina mengungkapkan bahwa sebagian besar iklan lowongan kerja yang beredar melalui media sosial tersebut adalah penipuan.
“Visa yang digunakan oleh pelaku untuk mengirim PMI ke luar negeri biasanya adalah visa turis. Namun pekerjaannya tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Kasus ini sering melibatkan sindikat, dan sulit untuk diselesaikan. Kalaupun ada yang berhasil, pekerjaannya biasanya tidak sesuai dengan harapan, seperti judi online atau menjadi penipu. Tentu saja, pekerjaan seperti ini tidak halal dan berdampak buruk,” tambahnya.
Baca juga: Pekerja Migran Indonesia Jadi Korban Perbudakan Modern di Kapal Taiwan, Baca Faktanya di Sini!
Oleh karena itu, ia menghimbau WNI yang menerima tawaran pekerjaan di luar negeri melalui media sosial untuk selalu memverifikasi keabsahannya dengan datang ke kantor BP2MI. Saat ini, BP2MI memiliki kantor di 23 provinsi dan sejumlah pos di tingkat yang lebih rendah, sehingga masyarakat bisa memeriksa kebenaran informasi tersebut.
Christina juga menjelaskan bahwa sebenarnya peluang kerja di luar negeri cukup baik bagi PMI yang mengikuti prosedur yang sah. Hingga saat ini, lebih dari 5,1 juta WNI bekerja di luar negeri, dan remitansi mereka mencapai Rp227 Triliun pada tahun 2023, yang mengalami peningkatan signifikan sebesar 42,2 persen.
Berdasarkan data Kementerian P2MI, sebanyak 4.204 PMI berasal dari Yogyakarta, dengan 2.501 di antaranya adalah perempuan dan 1.073 laki-laki. Salah satu sektor yang membutuhkan tenaga kerja Indonesia adalah sektor kesehatan, di mana negara seperti Jepang dan Jerman memiliki kebutuhan besar akan tenaga medis.
Baca juga: Setelah Puas Minum Miras Migran Ilegal Ini Pindah Alam, Eh Tapi Kok Polisi Sebut Ini Pemb/n/an Ya
Jepang, misalnya, akan membutuhkan 2,5 juta tenaga kesehatan pada 2025 mendatang dengan gaji sekitar Rp15-20 juta per bulan. Sementara itu, Jerman membutuhkan sekitar 500 ribu tenaga medis hingga tahun 2030, dengan gaji yang mencapai Rp38-47 juta per bulan.
“Pemberi kerja di luar negeri umumnya sangat senang dengan tenaga kerja Indonesia karena mereka dinilai tidak neko-neko, tidak banyak kasus, dan cenderung disiplin. Karenanya bila ingin bekerja di luar negeri harus dilakukan secara legal,” ujar Christina menambahkan.
Ketua Stikes Panti Rapih Yogyakarta, Yulia Wardani, juga menambahkan bahwa peluang kerja bagi tenaga kesehatan di luar negeri semakin besar.
Baca juga: Video Menteri P2MI Bagikan Bantuan Rp 3 Miliar pada 15 Pekerja Migran, Murni Hoax
“Kebutuhan yang besar hingga saat ini belum mampu dipenuhi oleh kampus-kampus kesehatan di Indonesia,” ujarnya.
Oleh karena itu, sosialisasi kepada mahasiswa sangat penting untuk memperkenalkan mereka pada peluang kerja luar negeri yang dapat meningkatkan kualitas hidup mereka.
Dengan adanya sosialisasi ini, Yulia berharap dapat menarik minat lebih banyak mahasiswa untuk bekerja sebagai tenaga kesehatan profesional di luar negeri.
“Bahasa yang dulu sering jadi hambatan sekarang tidak menjadi masalah besar, terutama bagi mahasiswa yang merupakan generasi Z dan Alpha,” kata Yulia.***